Bocah Dungu


Semuanya berubah. Semuanya tak lagi sama saat Kame mengetahui puteranya jatuh cinta dengan seorang  perempuan langit. Ia jadi kerap marah marah. Bagaimana tidak, ia begitu khawatir dengan kewarasan puteranya.
"Berhentilah berbohong tentang manusia langit!" Kata Kame sedikit menekan nada bicara pada akhir kalimat, berharap puteranya terbangun dari segala racauan dan mimpi panjangnya tentang perempuan langit.
Sembari menalikan sepatu, bocah yang masih duduk di bangku kelas emam SD itu kembali berusaha meyakinkan ibunya. Namanya Zidan.
"Tidak bu, aku anak yang baik. Aku tidak pernah berbohong. Manusia langit itu memang ada dan aku jatuh cinta padanya."
Ya memang benar, Kame mengakui bahwa puteranya adalah anak yang baik, ia tidak pernah berbohong apalagi pada ibunya meskipun bocah itu terlahir sangat dungu. Seperti nebula yang hafal dengan ratusan  wajah rembulannya, Kame pun demikian. Kame hafal benar dengan wajah puteranya, apakah ia sedang berbohong atau tidak. Kame tak pernah salah mengenali puteranya. Tak pernah.
Namun suatu hari, tubuhnya seperti terpotong potong saat menemukan wajah jujur puteranya mengatakan bahwa dirinya benar benar jatuh cinta dengan seorang perempuan langit. Tidak mungkin!
Saat itu, Kame memutuskan untuk mengamati wajah puteranya.
Kegelisahannya sudah tidak bisa ia tampung sendiri, ia harus mencari kebenaran persoalan puteranya. Zidan tidak boleh sebercanda itu. Dengan menggenggam segelas air putih  sebagai benda yang akan memberikan tekanan balik bila sewaktu waktu tangannya geram, Kame kembali bertanya kepada Zidan,
"Kepada siapa kamu jatuh cinta Dan?" Tanya Kame sambil  mengamati dengan khidmat wajah puteranya. Zidan mengangkat wajahnya dan hendak menjawab. Lima,
empat,
tiga,
dua,
satu, dan tubuh Kame terpotong potong menjadi bagian yang tak berarti apa apa lagi saat itu.  Zidan menjawab dengan wajah jujur bahwa ia benar benar jatuh cinta kepada perempuan langit.
Segelas air putih digenggaman Kame ingin ia lepas begitu saja. Tapi tak jadi, pasti gelas itu akan pecah dan cuma  menambah kerepotannya saja untuk membereskan, tak akan bisa menenangkan perasaannya.
Dulu saat pertama kali Kame mendengar Zidan jatuh cinta dengan perempuan langit, ia terkekeh. Zidan yang biasanya membacakan puisi di atas genteng rumahnya tentang nilai matematika yang selalu nol, tentang ibunya yang pemalu, bapaknya yang penjudi,  gurunya yang galak, dan komplek rumah kumuh, tiba tiba ia bersyair tentang seorang perempuan. Tidak hanya Kame, semua warga tau bahwa Zidan sedang jatuh cinta. Setiap orang yang lewat di bawah genteng Zidan, mereka menyoraki Zidan.
"Cieeeeeee"
Saat ditanya kepada siapa Zidan jatuh cinta, Zidan menjawab bahwa perempuan itu berasal dari langit. Sama seperti Kame, semua orang  cuma bisa terkekeh. Kame merasa maklum, barangkali Zidan masih malu untuk bercerita, lagipula cinta pertama adalah hal yang  rahasia. Pada malam malam berikutnya, Zidan kembali membacakan puisi puisinya tentang seorang perempuan. Seperti laut yang tak kenal lelah mengejar pantai, Kame pun selalu penasaran gerangan perempuan yang telah mencuri hati Zidan.
"Dengan siapa?" Tanya Kame menggoda puteranya.
"Sudah aku bilang seorang perempuan langit." Jawab Zidan membuat ibunya terkekeh lagi.
Sekali dua kali, Kame masih bisa terkekeh melihat kedunguan puteranya. Namun saat sudah ratusan kali nama manusia langit itu disebut, Kame merasa ada sesuatu yang salah. Seperti hantaman angin yang menabrak dinding mulutnya, Kame tidak berani bertanya apakah Zidan benar benar jatuh cinta dengan manusia langit atau cuma lelucon? Puluhan kali sudah Kame pernah bertanya, namun ratusan kali Zidan menjawab bahwa ia benar benar jatuh cinta dengan manusia langit. Zidan menjawab bahkan disaat ibunya sudah tidak lagi bertanya. Zidan menjawab disaat ibunya sudah tidak mau tau lagi.
Dan suatu hari saat  Kame memaksakan diri kembali bertanya dengan suasana serius, tubuh Kame terpotong potong menjadi bagian yang tak berarti apa apa lagi saat itu.  Zidan menjawab dengan wajah jujur bahwa ia benar benar jatuh cinta kepada perempuan langit. Perlahan langkah kaki Kame berjalan mundur, menjauhi dirinya sebagai seorang ibu yang maha mengetahui anaknya. Ia mulai mundur dari keyakinannya bahwa ia bisa saja salah mengenali puteranya. Barangkali ia tak lagi teliti menafsir wajah puteranya. Pasti puteranya berbohong dan ia kehilangan kemampuan analisisnya. Tidak ada yang salah dengan kebohongan puteranya tentang manusia langit. Dirinya yang salah. Dirinya yang kehilangan naluri.
Langkah Kame terus berjalan mundur, mengingkari keyakinannya, mengingkari dirinya sebagai seorang ibu yang maha paham, dan mulai saat itu perlahan dunianya berubah. Ia merasa, ia bukan lagi ibu yang baik. Ia jadi pemarah dan pendiam.
Melihat perubahan pada Kame, para tetangga yang suka nyinyir mulai menebar isu bahwa anak dan ibunya sama sama sinting. Tapi tetangga yang baik, mereka mencoba bertanya gerangan yang membuatnya jadi pendiam dan pemarah. Kepada mereka Kame berkata bahwa ia bukan lagi ibu yang baik, ia tidak bisa lagi mengenali Zidan berbohong atau tidak.
"Tidak Kame..   kamu ibu yang baik. Kamu wanita luar biasa yang berhasil membesarkan Zidan meski suamimu kawin lagi. Nyatanya  Zidan tumbuh menjadi anak santun, baik dan paling rajin ke surau."
Namun perkataan mereka tak menghibur Kame sama sekali, lagipula Zidan tumbuh begitu dungu, meski sebenarnya mereka ingin berkata bahwa Kame adalah ibu yang baik, hanya saja anaknya lah yang tidak waras. Zidan tidak berbohong, tapi ia sinting. Ingin mereka berkata demikian meski pada akhirnya mereka lebih memilih diam daripada menyakiti hati Kame.
Hari berganti, Kame semakin terlihat kurus dan suka omong sendiri. Zidan pun turut sedih saat melihat ibunya menjadi demikan. Saat bocah dungu itu mulai mencari tahu gerangan yang menyebabkan ibunya berubah, dengan wajah sinis para tetangga berkata bahwa penyebabnya adalah dirinya.
"Gara gara kamu ibumu jadi sinting."
"Tapi aku tidak berbohong, aku benar benar jatuh cinta dengan manusia langit" kata Zidan yang membuat para tetangga segera membanting pintu. Hari tak pernah berhenti dan silih berganti, tetapi Zidan belum bisa untuk berbohong dihadapan ibunya. Ratusan lawakan sudah ia lontarkan tapi ibunya tak pernah tertawa. Zidan tahu, satu satunya cara adalah dengan berkata bahwa  tidak benar  ia jatuh cinta dengan manusia langit. Tapi berat baginya,sebab tak pernah sekalipun Zidan berbohong di depan ibunya.
"Aku anak yang baik."
Para tetanggapun menyerah dan mencoba tidak peduli. Tapi mau tak mau mereka harus kembali peduli karena teriakan Kame sangat mengganggu malam mereka. Kame sudah tidak bisa lagi bicara, ia cuma bisa berteriak . Pernah suatu ketika, ia berteriak sangat keras dari pagi hingga siang, ia membanting segala perkakas dapurnya, semua tetangga berusaha menenangkannya, tapi tak ada satupun yang mengerti apa yang Kame inginkan. Hingga ia pipis dan meminum air seninya sendiri, para tetangga paham bahwa Kame haus, ia ingin minum. Sialnya setelah mereka tahu apa yang Kame inginkan, mereka pergi tanpa memberinya air minum, sebab orang orang mulai jijik melihat  Kame. Mereka tak mau urus ompolnya.
Hari demi hari berganti, Kame tidak juga membaik dan ia terpaksa harus dipasung. Keadaan itu membuat sanak saudaranya iba. Mau tak mau adik Kame dengan hati dongkol kembali menemui Zidan.
"Jadi dengan siapa kamu jatuh cinta?" Tanya bibinya.
"Seorang perempuan langit" jawab Zidan yang meski memuakkan, bibinya memilih untuk bertahan. Ia satu, bibinya satu diantara milyaran manusia yang tidak menoyor kepala Zidan sebelum pergi meninggalkannya. Walaupun sebenarnya, bibinya ingin melakukan hal tersebut.
"Aku juga pernah jatuh cinta dengan seorang lelaki langit." Kata bibinya mengimbangi kedunguan Zidan. Bibinya tahu, kalimat itu seperti lelehan susu di segelas kopi hitam, putih yang kentara dan akan menjadi hal yang menakjubkan bagi Zidan. Meski nyatanya Zidan malah memicingkan matanya.
"Dimana bibi bertemu dengannya?"
"Di langit."
"Tak mungkin." Kata Zidan mengadukkan lelehan susu di segelas kopinya. Tentu hal itu terasa  menyebalkan bagi bibinya, dari dulu memang tak ada yang percaya dengan manusia langit kecuali bocah dungu yang bahkan hari ini ia mengatakan ketidakmungkinannya.
"Bibi tak punya sayap."
"Kamu juga tak punya sayap tapi jatuh cinta dengan manusia langit."
"Aku tidak bertemu di langit, tapi di pasar malam."
Pasar malam. Kata tempat itu seketika merobohkan ingatan bibinya, merobohkan tenda tenda permainan, tenda baju baju batik, tenda sepatu obral, tenda barang pecah belah yang bersebrangan dengan gerobak arummanis hingga tersisa satu tenda. Tenda itu berwarna orange dengan loket seharga lima ribu. Zidan pernah masuk kesana untuk melihat sebuah pertunjukan teater, tentang perempuan langit yang harus tinggal dibumi karena selendangnya hilang ketika mandi di suatu telaga. Seketika bibinya terkekeh. Ia harusnya sadar bahwa nilai semua pelajaran Zidan selalu nol. Keponakannya itu tidak sinting tapi dungu. Bibinya segera keluar dari rumah Kame  sambil terkekeh, kepada setiap orang yang bertanya, bibinya menceritakan kedunguan Zidan. Pintu pintu yang dibuka, mereka menertawakan kedunguan Zidan. Betapa lucunya bocah itu. Mereka ingin Kame juga ikut menertawakan puteranya sebagaimana dulu. Dulu saat Zidan mendapat nilai nol, ia selalu naik ke genteng dan membacakan puisi sekeras kerasnya.

Bisakah matematika diciptakan sesederhana kehidupan? | antara lima perak jeruk dan tiga perak apel, bolehkah ibu membayar cuma seperak saja? | Sebab ibu miskin | padahal pandai matematika | Atau bisakah ibu membayar dua perak saja? Sisanya dianggap hutang. Biasanya begitu.

Ah lagi lagi nilai Ku nol.

Begitulah sajak kesedihan Zidan akan nilai nol nya. Ia begitu gusar menceritakan kepada langit malam di atas genteng rumahnya. Hal ini membuat tetangga tetangga Zidan meringis menahan tawa dari balik tirai tirai kamar. Begitupun  Kame. Entah mengapa, kedunguan anaknya kadangkala adalah hal lucu, menggemaskan, dan membahagiakan.
Diam diam banyak pula tetangganya yang menantikan Zidan bersyair di atas genteng mereka. ia bagai kehangatan yang menentang dingin malam, selimuti komplek rumah kumuh. Sebab, antara genteng rumah satu dengan yang lain, saling bersinggungan, hampir tak ada jarak. Itulah yang membuat mereka merasa hidup dalam satu atap. Dan seorang bocah dungu menambah hangat semuanya. Kini dengan lelucon yang luar biasa, Zidan kembali membuat orang orang komplek rumah kumuh terkekeh, Kame juga harus ikut menertawakan puteranya.
Esoknya orang orang sepakat untuk membuka pasung Kame dan mulai menceritakan tentang kedunguan Zidan yang jatuh cinta dengan  aktor perempuan langit dari rombongan pasar malam. Semua orang tertawa dan  sangat bahagia menceritakan kedunguan Zidan di depan Kame.
Tapi sayangnya, Kame tidak tertawa.
Orang orang mulai sadar, bahwa Kame sudah lama hilang kewarasannya. Bahkan bicara soal Zidanpun, Kame tidak kenal. Orang orang mulai  sadar bahwa kewarasan Kame bukanlah sebuah kedunguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar